Muridku Sahabatku
Oleh Armilia Sari
Cerpen ini diikutsertakan dalam Buku Antologi Karya
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Universitas
Sriwijaya Angkatan 2008 dengan bimbingan dari dosen pengasuh Dr.
Nurhayati, M.Pd.
Ini adalah kisah antara aku dan sahabatku. Mita, sebuah nama yang akan kukenang selalu dalam hidupku. Kami bersahabat sejak duduk di bangku SD. Ke mana-mana kami selalu bersama. Terkadang kami berselisih, tetapi itu tidak berlangsung lama. Kami memahami, persahabatan tidak akan selalu berjalan mulus. Ibarat sayur tanpa garam, hambar sekali rasanya. Pertengkaran yang terjadi justru semakin mewarnai kehidupan kami. Kami sering berbagi cerita tentang cita-cita dan impian di masa yang akan datang. Kami mencoba merancang kehidupan hingga bertahun-tahun ke depan. Pernah suatu hari ketika kami duduk di kelas dua SMP dia menanyakan tentang cita-citaku.
“Dina, kalau sudah besar nanti kamu mau jadi apa?” tanyanya mengagetkanku. Tentu saja aku terkejut dengan pertanyaan yang tidak terduga itu.
“Eh… eh, mau jadi apa ya? Oh ya, aku mau jadi guru biar aku bisa marahin dan menghukum anak kamu nantinya, he…he…he…” aku berkelakar, tetapi Mita tidak tertawa sama sekali. Dia malah diam seribu bahasa. Sungguh sikap yang sangat berlawanan dengan sifatnya selama ini.
“Hmm… anak? Seandainya aku bisa punya anak,” gumamnya kemudian.
“Maksud kamu apa?” tanyaku tidak mengerti.
“Ah, sudahlah tidak usah membahas tentang anak.” Katanya mengalihkan pembicaraan.
“Hei, nggak adil dong kalau kamu belum nyebutin cita-cita kamu. Kamu sendiri mau jadi apa kalau sudah besar nanti?” selorohku padanya. Mita berpikir sejenak.
“Hmm… aku mau jadi dokter.” jawabnya kemudian.
“Kenapa kamu mau jadi dokter?” tanyaku lagi
“Karena aku ingin mengobati orang yang sakit. Aku tidak mau ada orang yang sakit lagi di dunia ini.” Jawabnya kemudian.
“Karena aku ingin mengobati orang yang sakit. Aku tidak mau ada orang yang sakit lagi di dunia ini.” Jawabnya kemudian.
“Memangnya siapa yang sakit?” Tanyaku heran. Mita diam tidak menjawab. Untuk beberapa saat dia mematung, aku masih menunggu jawaban darinya. Dia menatapku dengan wajah yang sendu. Tiba-tiba dia tersenyum melihatku yang sudah mendongkol menunggunya bicara.
“Ah, nggak apa-apa kok. Aku cuma bercanda. Aku tuh mau jadi dokter biar bisa nyuntik anak kamu nanti.” Kelakarnya.
“Ih Mita…” aku gemas. Ingin kucubit wajahnya yang chubby itu, tapi Mita sudah kabur duluan, aku mengejarnya.
Itu adalah terakhir kali aku melihatnya karena keesokan harinya aku dikejutkan dengan kabar kepergian Mita dan keluarganya. Mita ikut orang tuanya pindah ke Surabaya. Mita sempat menitipkan sesuatu melalui tetangganya padaku. Sebuah kalung hati serta secarik kertas berisi pesan:
“TEMUKAN PASANGANNYA MAKA KAMU AKAN MENEMUKAN AKU.”
Sebenarnya aku malas memakai kalung hati itu, namun akhirnya kucoba juga memakainya dengan harapan siapa tahu nanti aku benar-benar akan bertemu Mita.
Tidak terasa tujuh tahun telah berlalu sejak kepergian Mita. Kini aku sudah menginjak usia dewasa. Tidak kuduga, cita-cita yang pernah kusampaikan pada Mita dulu sekarang hampir menjadi kenyataan. Ya, aku kuliah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Seandainya nanti aku berhasil meraih gelar S.Pd maka dapat dipastikan aku akan menjadi guru.
Pada semester awal masa perkuliahan aku masih dapat menikmati saat-saat santai dalam belajar, namun memasuki semester tujuh ini aku mulai mengalami masa paceklik. Ekonomi keluargaku semakin sulit. Aku terpaksa mencari lowongan kerja sebagai tutor di lembaga pendidikan atau guru privat anak SD untuk membantu biaya kuliahku, namun hal itu tidak semudah yang aku bayangkan.
Sudah berapa kali lamaranku ditolak dengan alasan yang tidak jelas. Hampir saja aku berputus asa jika aku tidak ingat dengan cita-citaku dulu. Hingga pada suatu hari aku menerima telepon dari seorang lelaki yang mencari guru privat untuk anaknya. Tidak dapat dilukiskan betapa bahagianya aku. Saking bahagianya aku ingin meluapkan kegembiraanku dengan menari-nari. Segera saja kesetel radio yang ada di kamarku, siapa tahu ada acara yang sedang memutar lagu-lagu ceria. Saat radionya kunyalakan, langsung terdengar sebuah lagu.
Kamu sangat berarti
Istimewa di hati
Selamanya kan berarti
Jika nanti kita telah hidup masing-masing
Ingatlah hari ini.
Sepenggal lirik lagu tersebut mengingatkan aku kembali pada Mita. Ah Mita, sekarang kita telah hidup masing-masing. Masih ingatkah dia hari-hari indah di masa kecil dulu. Aku tersenyum.
Hari pertama kerjaku di mulai. Aku berangkat ke rumah calon muridku dengan angkot. Berbekal alamat yang diberikan orang tuanya di telepon aku akhirnya berhasil menemukan rumah yang dimaksud. Jalan Letnan Mukmin Gang Amal No 1401, tidak salah lagi. Aku mencoba menekan bel. Satu kali tidak ada jawaban. Kucoba sekali lagi, namun masih belum ada jawaban. Aku mulai ragu, jangan-jangan tidak ada orang di dalam. Tiba-tiba pintu terbuka, seorang lelaki bertubuh tegap keluar.
“Hai… kamu pasti Dina, guru yang akan mengajar anak saya, iya kan? Saya Tommy yang menelpon kamu kemarin, saya papanya.” Sapa lelaki itu dengan ramah. Lelaki itu lantas mempersilahkan aku masuk dan duduk. Sekilas kupandangi seiri rumah tersebut, cukup mewah dan berkelas.
“Mau minum apa?” tanyanya mengagetkanku.
“Oh tidak usah repot-repot. Tapi kalau bisa saya ingin segera bertemu dengan anak Anda," jawabku.
“Wah rupanya kamu sudah tidak sabar lagi ya ingin melihat anak saya. Dia belum pulang dari sekolah. Umurnya saat ini baru menginjak usia 6 tahun, namanya Mita”
“Mita?” ulangku kaget.
“Iya Mita, ada yang aneh?” tanyanya dengan rasa heran.
“Oh tidak, tidak apa-apa kok. Namanya bagus.”
“Nah, itu dia pulang,” Tommy menunjuk ke arah luar rumah. Terdengar suara mobil memasuki halaman depan. Pintu segera dibuka. Tampak seorang supir masuk ke dalam rumah, tapi aku belum melihat sosok seorang anak.
“Papa, Mita pulang,” teriak seorang anak.
“Eh, anak papa sayang sudah pulang. Ini kenalan dulu sama guru kamu, namanya ibu Dina.”
“Hallo bu Dina, nama aku Mita.”
“Oh, hai Mita. Kamu cantik sekali.” sapaku ramah. Aku menatap anak itu lekat-lekat. Wajahnya tidak asing bagiku. Sepertinya aku pernah melihat bocah yang wajahnya mirip dengan anak itu. Aku mencoba mengingat-ingat. Ah sudahlah tidak terlalu penting, yang penting sekarang aku sudah mendapatkan pekerjaan. Anak itu lalu mengajak aku ke kamarnya. Dengan bangganya dia memamerkan koleksi bonekanya padaku.
“Mita, mama kamu mana?” tanyaku penasaran.
“Oh mama, mama sudah pergi ke surga,” jawabnya polos. Aku terdiam sejenak, aku mengerti kata surga yang diucapkannya pasti menandakan bahwa mamanya telah meninggal. Aku merasa iba dengan anak itu.
“Ibu, mau lihat foto mama nggak?” tanya Mita dengan wajah lugunya.
“Oh tidak usah, kita langsung belajar saja ya!” ajakku lembut.
Sudah beberapa minggu ini aku mengajar di rumah Mita. Aku senang dengan anak ini. Sifatnya yang ceria dan periang membuat aku rindu dan teringat lagi dengan masa kecilku.
“Ibu Dina, itu kan kalungnya Mita,” celotehnya pada suatu hari.
“Oh bukan sayang, kalung ini punya ibu,” jawabku pelan. Kupikir anak-anak memang selalu saja keliru menganggap semua barang adalah miliknya.
“Ih itu kalungnya Mita, balikin,” Mita mencoba melepas kalung hati yang kupakai. Aku berusaha menghindar darinya.
“Jangan sayang ini benar-benar kalung milik ibu,” aku mengelak.
“Ada apa ini?” tanya Tommy tiba-tiba.
“Ini pa, ibu Dina ngambil kalungnya Mita.”
“Tidak benar pak, ini sungguh milik saya,” aku mencoba membela diri.
“Tapi sepertinya Mita benar Dina, kalung hati itu pemberian almarhum mamanya. Jadi, saya tahu persis kalung hati itu milik Mita,” terang Tommy meyakinkan. Aku terpana, tiba-tiba air mataku menetes.
“Boleh saya lihat foto mamanya?” pintaku berharap. Tommy masih heran dengan permintaanku namun dia turuti juga keinginanku.
Hampir saja aku pingsan saat menerima foto itu. Mita sahabatku yang dulu ternyata adalah mama dari muridku sendiri. Aku tidak kuat lagi, aku mencoba menanyakan apa yang sebenarnya terjadi dengan Mita. Tommy lalu menceritakan semuanya. Mita mengidap kanker rahim. Penyakit yang dideritanya itu menuntut Mita untuk segera menikah di usianya yang ke 15 tahun, usia yang masih terlalu muda. Mita tidak punya pilihan lain, dia harus segera mendapatkan keturunan sebelum rahimnya diangkat karena Mita adalah anak semata wayang. Mita tidak ingin garis keturunannya terputus karena penyakitnya. Setelah melahirkan rahim Mita diangkat, namun Mita akhirnya menghembuskan napas terakhirnya. Mita sempat menitipkan kalung hatinya dan meminta agar nama anaknya nanti sama dengan dirinya. Aku telah menemukan sahabatku lagi meski dengan sosok muridku. Kini aku mengerti mengapa Mita ingin menjadi dokter. Mita tidak ingin ada yang sakit dan menderita lagi seperti dia. Mita, aku berjanji akan menjadi guru yang baik bagi anakmu. Kelak, aku akan membantu Mita kecil untuk meneruskan cita-citamu.