Selasa, 24 Juli 2012

Pencuri Makanan di Sekolahku


 Oleh Armilia Sari

 
Pengalaman ini kualami di bangku sekolah dasar kelas IV. Kebiasaanku sejak kecil adalah aku selalu dibekali bontot dari rumah seperti pempek, risol,  atau pisang goreng. Sebenarnya aku lebih suka jajan daripada membawa bontot karena menurutku gorengan buatan emak keras dan tidak enak, tetapi emakku memaksa aku membawanya. Akhirnya kubawa juga bontot itu setiap hari meski terkadang tidak kumakan.  Ada pengalaman aneh dan lucu mengenai bekal yang selalu kubawa itu. Entah bagaimana caranya bontot itu selalu lenyap tak tersisa sebelum aku sempat menyantapnya atau bahkan membuangnya. Sering  aku lupa membuangnya ke kotak sampah seperti biasanya, tetapi saat emakku memeriksa kotak makananku ternyata isinya sudah kosong.
             Aku memang selalu meninggalkan kelas untuk jajan di kantin, jadi aku tidak tahu siapa yang diam-diam selalu mengambil bontotku saat jam istirahat. Jangan-jangan pelakunya adalah si Hantu Markonah? Menurut cerita kakak kelasku, dahulu di kelasku ada siswi yang meninggal karena kecelakaan saat praktek olah raga lompat tinggi. Badannya yang gempal membuat Markonah hilang keseimbangan dan terhempas dengan kuatnya. Konon, semasa hidupnya si Markonah ini sangat rakus makannya. Ah setahuku hantu atau makhluk halus lainnya itu doyan darah manusia, sejak kapan hantu suka makan gorengan dan muncul di siang bolong? Aku semakin penasaran dengan maling di kelasku, maka aku pun menyiapkan sebuah rencana untuk menjebaknya. Siang itu aku meminta emakku membuatkan pempek pistel. Kukatakan padanya aku ingin membantunya dan membawa bekal buatanku sendiri besok. Diam-diam kuselipkan dua buah cabai rawit dan sebutir pil pelancar buang air besar dalam setiap pistelnya. Sengaja kubuat ukuran pempek pistelku lebih besar daripada punya emakku agar aku bisa memilihnya nanti saat digoreng semuanya.
Keesokan harinya aku berangkat sekolah seperti biasa, tidak ada firasat kalau hari itu akan menjadi hari paling sial dalam hidupku. Pada hari itu saat jam istirahat aku tidak jajan di kantin karena teman-temanku mengajak bermain petak umpet. Sialnya hari itu aku kalah jangkepong, jadi aku yang kena hukuman mencari teman-temanku. Aku diminta menutup mata, berbalik membelakangi kelas, dan menelungkupkan badan pada sebuah pohon nangka. Saat aku mulai berhitung, secara tidak sengaja aku menginjak sarang semut api sehingga mereka pun mengigitiku beramai-ramai tanpa ampun. Mau tidak mau aku pun harus membuka mataku, dan betapa terkejutnya aku melihat seragam putihku terkena getah dari pohon nangka tempat aku menelungkup. Mungkin inilah yang dimaksud Bu Welly, guru Bahasa Indonesia kami dengan pepatah ‘Orang makan nangkanya, aku dapat getahnya’. Ya, kemarin memang pohon nangka ini berbuah, dan aku tidak kebagian saat teman-temanku berebut menikmati buahnya. Bah, benar-benar hari yang sial. Entah apa lagi yang akan kualami nanti pikirku saat itu. Aku mulai mencari teman-temanku sebelum hitungan ke seratus selesai. Untuk apa juga menghitung sampai seratus? Toh mereka tidak tahu.
Tidak terasa sudah setengah jam kami bermain petak umpet. Teman-temanku hampir semuanya kutemukan. Ada yang sembunyi di kantin sambil makan, gila sembunyi kok di kantin, ada yang memanjat pohon jambu dan hampir terpeleset karena dihajar serangga seperti nasibku, ada pula yang menyerah tidak tahan dan keluar sendiri karena salah memilih tempat persembunyian, bagaimana tidak tahan kalau sembunyi di toilet siswa yang bau pesing karena jarang dibersihkan itu. Jam istirahat pun berakhir, kami semua masuk ke kelas dengan tertib. Siang itu jam pelajaran Bahasa Inggris, pelajaran yang sangat tidak kumengerti pada masa itu karena terdengar seperti ‘swat swet swot’ saja saat Miss Novi berbicara.
“Nah, anak-anak ikuti yang Miss Novi ucapkan ya!”
“Ya Miss,” jawab kami sekelas.
Okay, together: ‘uniform’.” Miss Novi memulai.
Okay , together: ‘uniform’,” kami semua mengikuti.
“Waduh, kata ‘Okay together’-nya tidak usah diikuti nak,” keluh Miss Novi.
“Waduh, kata ‘Okay together’-nya tidak usah diikuti nak,” ucap kami serentak menirukan kalimatnya sama persis. Miss Novi garuk-garuk kepala seperti kegatalan digerogoti kutu.
“Ya sudahlah, cukup latihan membacanya. Sekarang coba keluarkan PR kalian kemarin.”
“Alamak. Aku lupa bawa PR, ini gara-gara keasyikan membuat pempek pistel kemarin.”
Any problem, Tyo?” pertanyaan Miss Novi mengagetkanku.
Eh... No what-what Miss,” jawabku asal-asalan.
Aku membuka tasku, berharap terjadi keajaiban siapa tahu si hantu Markonah itu berbaik hati mau membuatkan PR-ku setelah melahap bontotku. Sesuai dengan yang kurencanakan kotak bekalku sudah kosong melompong, pasti sudah disikat si hantu Markonah, tapi oh tidak, PR-ku tetap tidak ada. Huh dasar hantu tidak tahu berterima kasih! Eh, hantu memang tidak pernah berterima kasih ding. Aduh bagaimana ini? Akhinya aku hanya bisa mengakui kesalahanku sambil memasang wajah penuh memelas.
“Ya sudah, you bersihkan kelas ini sepulang sekolah nanti, understand?
Understand miss,” jawabku pasrah tapi tak rela.
“Nah sekarang siapa yang bisa mengerjakan soal PR kemarin number one?” Miss Novi menawarkan, tetapi tak satu pun yang mengangkat tangan.
“Kalau tidak ada yang angkat tangan, Miss Novi akan panggil dari absen,” ancam Miss Novi. Seketika raut wajah kami semua menegang.
“Lanjar Widodo, stand up!” Miss Novi mulai mengabsen siswa supaya maju ke depan mengerjakan PR kemarin di papan tulis.
“Lanjar Widodo, come on!” Miss Novi mengulangi panggilannya, tetapi yang dipanggil tidak juga maju. Aku menoleh ke belakang, bangku si Dodo yang gembul itu kosong. Benar juga, tadi si gembrot tukang makan itu ikut kami bermain petak umpet, tapi sampai jam istirahat berakhir pun aku tidak menemukannya. Apa Dodo masih bersembunyi ya? Atau mungkin dia pulang sebentar untuk makan karena rumahnya yang sangat dekat persis terletak di samping sekolah.
“Lanjar Widodo, tidak hadir ya?” tanya Miss Novi.
“Tadi pagi hadir miss, tapi sampai sekarang belum kelihatan batangnya,” jawab Boris diikuti gemuruh gelak tawa kami semua.
“Atau mungkin diculik si hantu Markonah kali miss,” teman yang lain menimpali.
“Diam semuanya! Boris, coba kamu saja yang kerjakan.”
Boris maju sambil cengar-cengir. Selanjutnya dengan setengah hidup, setengah mati, bahkan agak memaksa Miss Novi akhirnya berhasil menyeret 10 siswa ke depan mengerjakan sepuluh buah soal PR yang diberikannya kemarian.
“Toeeeeeetttt.... Toeeeeeetttt.... Toeeeeeetttt.... Toeeeeeetttt....” terdengar bunyi seperti terompet empat kali pertanda jam pelajaran telah usai. Entah mengapa sekolahku tidak menggunakan bel atau lonceng seperti di sekolah-sekolah lain pada umumnya, tetapi malah menggunakan bunyi terompet seperti mau perang saja. Huh, hari yang menyebalkan. Aku ditinggal sendirian di kelas dan disuruh membersihkan kelas sebagai hukuman.
Aku menyapu secepat-cepatnya. Mengepel pun asal terlihat lantainya basah saja sudah cukup bagiku karena lantainya dari marmer berwarna cokelat jadi tidak akan terlalu kelihatan kalau pun kotor. Perutku sudah keroncongan, tadi tidak sempat jajan karena main, sedangkan bontotku sudah lenyap digondol maling, walaupun tidak diambil maling, toh aku juga tidak mau makan pempek pistel yang sudah kucampur cabe rawit dan obat pelancar buang air di dalamnya, dan seandainya pun belum kucampur dengan ‘racun tulen’ itu, aku juga tidak mau makan gorengan emak yang keras dan tidak enak itu. Aku segera merapikan isi tasku dan bersiap pulang.
“Preeettt...” tiba-tiba terdengar suara seperti kentut. Kulihat di sekelilingku, kelas sudah kosong, hanya ada aku di sini, jadi tadi suara apaan dong? Waduh, jangan-jangan si hantu Markonah mulai usil menggangguku.
“Han... Hantuuuuu,” teriakku ketakutan sambil berlari dan bersiap mengunci kelas agar hantunya terkurung. Semoga saja hantunya tidak bisa menembus dinding seperti di film-film itu. Keringatku yang bau asam pun bercucuran dengan derasnya di sekitar leher dan ketiak.
“Ah hantu ampun, jangan kunci aku dari luar.”
“Hah? Siapa di dalam?”
“Ini aku Dodo, cepat bukain dong, nggak tahan lagi nih, perutku mulas kentut terus, dari tadi nahan pengen buang air besar.”
            “Ya ampun Dodo, kamu ke mana saja dari tadi?” tanyaku sambil membukakan pintu. Kupandangi wajahnya yang memerah karena menahan kentut.
            “Uffh... kok bau pesing sih? Kamu terkencing ya?”
            “Sorry, Tyo. Tadi aku sembunyi dalam lemari kelas. Tadinya cuma nahan buang air besar, tapi nggak tahunya yang kecil juga mau keluar. Habis kamu sih pakai teriak hantu segala. Kan aku terkencing-kencing ketakutan jadinya,”
            “Ya ampun, jadi bunyi aneh tadi bunyi kentut kamu. Kamu kencingnya di lemari atau di lantai, heh?”
            “Di lantai, memangnya kenapa?”
            “Dodooooooooooooooo.... dasar si dodol, dodol, dodol!!! Aku capek bersihin lantainya tahu nggak?”
            “Sorry deh, ini saja masih untung aku nggak buang air besar di kelas.”
            “Untang-untung... untang-untung... Untung udelmu itu! Orang sial kok untung?”
            “Oke, begini deh. Aku bersihin kelasnya, kamu temani aku saja, aku takut soalnya, tapi sebelumnya aku ke toilet dulu ya,” jawabnya sambil berlari-lari diiringi suara ‘Breeet brooot’ dari pantatnya.
            Huh, mimpi apa aku semalam sampai terkena sial terus seharian ini? Perasaan semalam aku cuma mimpi di lempari monyet pakai pisang. Ah, apa hubungannya mimpi itu dengan nasib sialku hari ini? Lagi pula, dunia mimpi itu benar-benar aneh, mana ada monyet yang mau membuang-buang pisang dengan percuma? Di dunia nyata, yang ada monyet-monyet itu malah kesenangan kalau dilempari pisang. Apa dunia sudah mau terbalik ya? Aku mulai berpikir yang aneh-aneh karena kelewat lapar. Irama keroncongan mulai berbunyi dari perutku. Cacing-cacing di dalamnya pasti sedang demo besar-besaran meminta jatah makan dua piring lebih banyak dari porsi biasanya karena sudah lewat jam makan siang.
            Menunggu Dodo buang air dan mengepel lantai selama lima belas menit saja terasa seperti menunggu puluhan tahun lamanya. Swear, tidak lebay! Menunggu orang lain mengerjakan sesuatu saat perut kelaparan adalah penderitaan yang sangat pedih dan semoga saja tidak dialami oleh siapa pun lagi di dunia ini. Cukuplah daku saja yang merasakan sakitnya tersiksa seperti ini (nah, kalau kalimat yang ini baru lebay).
            Dodo menawariku makan di rumahnya. Aku pikir tidak ada salahnya juga sekali-sekali aku numpang makan di rumahnya karena rumahku masih jauh. Sesampainya di rumah, kedua orang tua Dodo tidak kelihatan, mungkin mereka sedang bertani. Dodo langsung membuka tudung saji di atas meja makan mereka.
            “Ha, asyik... sambal belacan. Ayo makan!” serunya kegirangan.
            “Hah?” Aku terbelalak, setengah tidak percaya dengan apa yang baru saja kulihat. Di atas meja hanya terhidang sebakul besar nasi yang masih hangat, sepiring ikan asin, dan semangkuk penuh sambal belacan.
            “Kenapa? Kamu tidak suka ya? Kalau kamu tidak suka biar kubelikan mi instant di warung.”
            “Eh... Eh, tidak usah. Aku suka kok ikan asin dan sambal belacan,” jawabku sekenanya. Aku tidak tega kalau harus menyuruhnya berbelanja dulu di warung. Lagi pula kami sudah terlalu lapar. Kami pun makan dengan lahapnya. Benar kata emakku dulu, ‘makanan apapun, walau tidak enak, akan terasa enak saat perut benar-benar lapar.’ Karena kulihat Dodo nambah lagi 1 piring maka aku pun tidak perlu malu untuk nambah lagi.
            “Nggak usah malu,” katanya.
            “Hyang hada mhalah mhalu-mhaluin, hehe...” jawabku dengan susah payah sambil menyuap sesendok penuh. Agak sulit memang berbicara sambil makan nasi yang masih panas. Aku kagum pada Dodo. Kini kutahu badannya Dodo yang gendut itu bukan karena selama ini dia sering makan makanan enak, melainkan karena dia memang menikmati makanan apa pun yang disajikan emaknya walaupun sederhana. Dodo memang hanyalah seorang anak petani biasa, tetapi dia selalu bersyukur dengan keadaan keluarganya. Aku jadi teringat emakku yang sudah bersusah payah setiap hari membuatkan bekal untukku tetapi selalu kubuang dengan percuma. Aku menyesal telah menyia-nyiakan rezeki dari Tuhan.
            “Oh ya, tadi kamu campur apa sih dalam pempek pistelmu? Biasanya enak, tapi tadi pedas campur pahit. Pempek apaan tuh? Pempek terburuk di dunia.”
            “Hah? Biasanya katamu? Jadi kamu ya yang selama ini sering mencuri bontotku? Bukan si hantu Markonah?”
            “Hiihii.. Sorry, habisnya kamu tuh buang-buang rezeki, mubazir loh,” katanya sambil cepat-cepat berlalu dariku dan berpura-pura mencuci piring ke sumur belakang. Aku geram sekali rasanya. Tiba-tiba kekagumanku tadi dalam sekejap berubah menjadi rasa sebal yang bertumpuk-tumpuk. Ingin sekali kusiram dia dengan segelas air putih dalam genggamanku.
            “Dodooooooooooooooo.... dasar si dodol, dodol, dodol!!!
*****


Sabtu, 21 Juli 2012

My First Friend on Facebook

Oleh Armilia Sari



Rini mencolokkan modemnya ke laptop. Ia ingin membuat akun di Facebook, sebuah situs jejaring sosial yang saat ini banyak digunakan. Tidak membutuhkan waktu lama bagi Rini untuk membuat akun Facebook. Pembuatan akun Facebook pun selesai.
            Welcome to Facebook, Rini. Step 1: find friends.
            Rini memasukkan beberapa nama dalam daftar pencariannya. Sebagian teman yang memakai nama asli langsung ia temukan, namun ia mengalami kesulitan mencari teman-temannya yang menggunakan nama samaran.
            “Melly Meizalina. Aha, ini dia orangnya,” seru Rini sambil meng-klik tuRinin ‘Add as a friend’.
            “Hmm…siapa lagi ya?” pikirnya. Tiba-tiba matanya tertuju pada suatu tuRinin.
            Facebook suggestion. Here are some people whom you may know: Raditya Saputra, Fika Rianty, and Irma Kusmiati.
            “Wah, dua cewek ini sih memang teman aku, tapi yang cowok ini siapa ya?”
Rini langsung menambahkan dua temannya tadi lalu membuka halaman info Raditya Saputra, orang asing yang disarankan oleh Facebook.
            “Ih, kok foto profilnya gambar tokoh kartun Detektif Conan sih? Nggak punya foto sendiri apa?” Rini membaca biodata orang itu dengan seksama.
            “Statusnya single, agamanya Islam, hobinya baca buku, makanan kesukaannya sate padang, sifatnya ramah, murah senyum, dan humoris. Wah, banyak kesamaan nih dengan aku. Sayang, nih orang gak punya album. Tambahkan saja ah, siapa tahu cakep,” gumam Rini sambil meng-klik ‘add as friend.’
            “Cukup sudah, sekarang tinggal menunggu konfirmasi dari mereka,” pikirnya sambil meng-klik ‘logout’ dan mematikan komputer.
            Malam menjelang, Rini kembali menyalakan laptopnya dan masuk ke Facebook.
            One new notification,’ Rini segera meng-kliknya. ‘Raditya Raputra accepted your friend request.
            Ternyata orang yang mengkonfirmasi dan menjadi teman pertamanya di Facebook adalah orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Rini menulis di dinding lelaki tersebut.
            ‘Makasih ya atas konfirmasinya. Aku Rini Irmaria, salam kenal.'
            Keesokan harinya Rini kembali membuka akunnya. Kali ini dia mendapat  4 pemberitahuan baru.          
‘Fika Rianty accepted your friend request, Melly Meizalina accepted your friend request, Irma Kusmiati accepted your friend request, Raditya Saputra commented on his wall post.’ Klik.
            ‘Sama-sama, makasih juga sudah nambahin sebagai teman. Anak baru ya? Hehehe, selamat datang aja di dunia maya ya.' 10 hours ago.
            “Hmm...ramah juga ternyata orang ini,” gumamnya. Rini kembali membuka halaman info lelaki tersebut.
            One friend in common: Melly Meizalina’
            “Oh temannya Melly toh,” gumamnya
            Tidak terasa sudah beberapa minggu Rini bergaul di dunia Facebook. Kini temannya sudah mencapai lima puluhan.
            Raditya: Assalam Mu’alaikum. Hai, Rini…
            Tiba-tiba sapaan itu muncul di samping kanan bawah layar laptopnya.
            “Wah, si Radit ngajak chatting nih.”
            Rini: Wa’alaikum Salam. Hai juga…
            Radit: Temannya Melly ya?
            Rini: Iya, teman sekampus. Kamu juga kan?
            Raditya: Iya, teman waktu SD
            Rini: Oh teman kecilnya ya?
            Raditya: Bukan
            Rini: Loh, tadi katanya teman waktu SD
            Raditya: Iya teman waktu Es De alias Sedang Darurat, hehehe...
            Rini: Ih, kamu tuh ya…
            Pembicaraan pun berlangsung selama beberapa menit. Mereka sempat bertukar nomor hand phone. Pembicaraan pun berlanjut lewat telepon dan SMS.
            Rini, ketemuan yuk. Aku penasaran sama kamu.”
 Itulah SMS yang masuk dalam inbox Rini hari ini. Rini langsung membalas.
            Boleh juga, di mana?”
            Gimana kalau di PTC?”
            Jam berapa?
            Kapan aja kamu bisa, aku siap
            Jam 1 siang mau?
            Oke deh.”
            Rini sampai duluan. Ia memesan minuman sambil menunggu Radit. Sepuluh menit telah berlalu dari jam yang dijanjikan. Rini mulai jengkel. Ia segera mengirim SMS.
            Kamu di mana sih?”
            Satu menit kemudian.
 “Maaf telat, sebentar lagi aku sampai kok.”
            “Ya sudah, terus gimana aku bisa ngenalin ciri-ciri kamu?”
            “Gampang, aku pakai baju warna biru.”     
Tidak lama kemudian muncul dua lelaki yang sama-sama memakai baju berwarna biru. Yang pertama memakai baju kaos dan jeans, wajahnya tampan, penampilannya maskulin, sangat berbeda dengan lelaki di sebelahnya yang juga memakai baju berwarna biru. Lelaki yang satu ini terlihat sangat culun dengan kemeja biru dan celana katun, kacamatanya dan buku yang dibawanya menunjukkan sifatnya yang kutu buku. Rini menjadi bingung dan ragu.
            “Ah, Radit kan selalu ngaku dirinya keren, masak culun dan norak kayak gitu. Pasti yang cakep itu Radit,” tebaknya. Rini menghampiri mereka.
            “Hai Radit!” sapa Rini tanpa ragu-ragu lagi.
            “Rini ya? Maaf, aku telat.”
            “Gak apa-apa kok.”
            “Oh ya kenalin ini Surya, teman aku sekaligus pembantu aku.”
            “Loh, kok bisa gitu?”
            “Iya, dia tuh anak tukang kebun di rumah aku. Papa nguliahin dia juga di kampus yang sama, jadi kami berteman deh,” jawabnya santai
            Rini akhirnya ngobrol dengan Radit dan Surya. Rini sedikit merasa aneh karena gaya bicara Radit ternyata tidak selucu gaya bahasanya di Facebook atau pun di SMS. Rini justru merasa sangat nyaman berbicara dengan Surya yang suka melawak.
            Hari demi hari berlalu. Rini semakin sering bertemu dengan Radit dan Surya, namun ia juga semakin bingung dengan keanehan sikap Radit yang selama ini dikenalnya. Radit sangat sopan dan rendah hati di Facebook, tetapi kenyataannya sifat itu malah ada pada diri Surya. Belum hilang kebingungan Rini, tiba-tiba Radit menelpon.
            “Halo Rini.
            “Ada apa, Dit?”
            “Em, sebenarnya… sebenarnya, aku suka sama kamu, kamu mau gak jadi TTM aku?”
            TTM maksudnya Teman Tapi Mesra ya?”
Rini kaget. Dia bingung harus menjawab apa. Rini memang menyukai penampilan Radit yang tampan, tetapi dia lebih menyukai sifat Surya yang baik dan humoris.
            “Rini, gimana?”
            “Eh, ii… iya, aku juga suka sama kamu. Aku mau jadi TTM kamu,” jawabnya terbata-bata.
Radit sangat puas dengan jawaban Rini, tetapi Rini sendiri masih bingung. Ada sedikit penyesalan dalam dirinya karena sebenarnya orang yang dia sukai adalah Surya.
            Sudah beberapa bulan Rini berkencan dengan Radit. Mereka selalu menghabiskan waktu dengan makan berdua di restoran. Sikap Radit tetap tidak berubah, agak angkuh dan suka menyombongkan diri. Rini rindu dengan sifat Surya yang periang dan humoris, entah mengapa ia justru selalu merindukan Surya yang culun dan kutu buku itu.
            Suatu hari Rini meminta Radit untuk makan bersama Surya lagi seperti saat mereka pertama kali bertemu. Radit tidak keberatan, ia meminta Rini menunggu di tempat biasa. Rini memesan sate padang, makanan favorit Radit seperti tertulis di info Facebooknya. Ia juga membawakan koleksi DVD Detektif Conan kesukaannya. Lima belas menit kemudian Radit dan Surya muncul.
            “Dit, aku sudah pesan sate padang loh buat kamu.”
            “Apa? Sate padang? Yang benar saja, aku paling nggak suka makanan pedas kayak gitu.”
            “Loh, kok gitu sih? Ya sudah, jangan marah ya, ini aku bawakan kaset  Detektif Conan, seru loh.”
            “Ya ampun, aku tuh nggak suka cerita detektif.”
            “Radit!” panggil seseorang dari jauh. Gadis itu segera menghampiri mereka bertiga.
            “Melly!” seru Rini.
            “Radit, kamu kemana aja selama ini? Loh kok ada Rini? Kalian sudah saling kenal ya?” tanya Melly, tetapi pertanyaan dan tatapannya malah  tertuju pada Surya.
            Radit terlihat pucat dan panik, ia kemudian kabur keluar restoran, Rini berusaha mengejarnya. Radit semakin mempercepat larinya, namun malang tiba-tiba sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabraknya. Radit ambruk seketika dan berlumuran darah.
            “Radit…” teriak Rini.
            “Ri, Rini. Maafkan aku. Aku sudah membohongimu. Sebenarnya akulah Surya. Aku sengaja ingin merebutmu dari Radit. Aku iri melihat anak tukang kebunku punya teman secantik kamu, makanya dia aku paksa tukaran nama, sebenarnya Radit juga menyukaimu. Jadilah sahabatnya Rini, dialah temanmu yang sebenarnya, maafkan aku…” bruk, lelaki itu menghembuskan nafas terakhirnya.
            Kini terjawab sudah segala kebingungan yang melanda hati Rini dan ia telah menemukan sahabat yang sebenarnya, sahabat yang merupakan teman pertamanya di Facebook. Sejak saat itu Rini bersahabat dengan Radit asli yang jujur, ramah, dan humoris.

Rabu, 18 Juli 2012

Jika Aku Punya Mesin Waktu


             Oleh Armilia Sari


            Jika aku punya mesin waktu aku akan pergi ke masa lampau. Aku akan pergi ke masa sebelas tahun silam tepatnya pada tahun 2001. Pada waktu itu teknologi dan komunikasi belum terlalu canggih, apalagi di desa tempat tinggalku. Hanya beberapa orang saja yang sudah memiliki handphone. Biasanya orang-orang yang sudah memiliki handphone pada waktu itu adalah orang-orang yang kaya atau masyarakat dari kelas ekonomi atas. Aku sendiri belum memiliki handphone pada waktu itu.
            Aku punya alasan mengapa aku lebih memilih pergi ke masa tahun 2001 daripada ke masa depan  yang sepertinya lebih menarik dan membuat semua orang penasaran. Aku memiliki pengalaman pahit di tahun 2001. Peristiwa itu terjadi pada minggu, 13 Mei 2001. Kejadiannya berawal ketika Kak Irvan, sepupuku datang ke rumah. Seperti biasanya dia menonton televisi sambil menemaniku menjaga rumah.
            “Dek kakak lapar,” katanya.
            “Sebentar ya kak, aku cari makanan dulu di kulkas,” jawabku sambil beranjak ke dapur.
Aku membuka kulkas, tapi aku tidak menemukan sedikit pun makanan di sana. Aku sendiri belum makan dari pagi karena ayah dan ibu pergi menghadiri hajatan tetangga jauh sehingga mereka tidak sempat menyiapkan sarapan. Ibu hanya meninggalkan pesan di atas meja dan menyuruhku membeli makanan di warung.
            “Kak, nggak ada makanan. Kita ke warung Bik Ratih yuk!”
            “Ah nggak enak jajanan di sana.”
“Jadi gimana dong kak?”
“Hmm, kita ke Kedai Bakso Pendekar yuk!”
“Wah boleh juga tuh kak.”
Kedai Bakso Pendekar adalah kedai bakso favorit kami. Konon kabarnya kedai itu disebut ‘Bakso Pendekar’ karena Mang Dono pemilik kedai itu juga jago ilmu silat, tetapi Aku dan Kak Irvan memiliki alasan tersendiri mengapa menyebutnya demikian. Kami menyebutnya ‘Bakso Pendekar’ karena Mang Dono itu badannya ‘pendek’ dan ‘kekar’ sehingga kalau disingkat menjadi ‘Pendekar’. Kedai Bakso Pendekar  sebenarnya melayani delivery atau pesan antar, tapi karena kami belum memiliki handphone pada waktu itu kami terpaksa harus pergi langsung ke kedai bakso itu.
 Kak Irvan meminjam motor kakak kandungku yang kebetulan sedang ditinggal pergi karena kakakku ikut temannya memancing di sungai. Dalam perjalanan ke sana kami masih sempat bercanda mengenai Mang Dono. Tidak bisa dipungkiri Mang Dono memang penjual bakso paling nyentrik di desa kami, baksonya juga terkenal paling enak sehingga selalu ramai pengunjung. Tidak jarang kami disuguhi Mang Dono aksinya yang menghidangkan bakso ke meja pengunjung sambil melompat dan bersalto tanpa menumpahkan bakso itu sedikit pun dari mangkuknya.
“Bakso di dunia saja sudah seenak itu, apalagi bakso di surga. Pasti bakso di surga lebih enak .”
“Ah kakak ngawur, memangnya ada penjual bakso di surga?”
“Ya kalau Mang Dono masuk surga berarti ada dong.”
“Lah kalau Mang Dono masuk neraka gimana?”
“Berarti Mang Dono jualan bakso di neraka, hehehe... jadi nggak sabar pengen segera masuk surga. Mau nyicip bakso di surga kaya apa ya rasanya?”
“Hahaha... Eh kakak, awas!”
BRUAKKKK....
*****
Aku masih sempat menatap wajah Kak Irvan sebelum akhirnya mataku terpejam. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi. Saat aku sadar aku sudah berada di rumah sakit. Ketika kutanya keluargaku di mana Kak Irvan, aku dikejutkan dengan kabar meninggalnya sepupuku tercinta itu. Kami ditabrak sebuah truk pengangkut  kayu yang melintas dengan kecepatan penuh. Kak Irvan kehabisan darah dan tidak tertolong lagi dalam perjalanan menuju rumah sakit.
            Jika aku punya mesin waktu, aku akan pergi dengan mesin waktu itu ke tahun 2001 dan membawakan handphone untuk Kak Irvan. Akan kujelaskan pada aku yang hidup di tahun 2001 dan Kak Irvan bahwa aku datang dari masa depan. Akan kuberikan handphone itu kepada Irvan agar dia bisa memesan bakso melalui telepon tanpa harus pergi ke sana langsung. Dengan demikian, aku bisa mencegah terjadinya kecelakaan yang telah merenggut nyawa sepupuku. Aku juga bisa mengubah takdirku dengan menggunakan mesin waktu sehingga akhirnya aku tidak perlu merasa kehilangan sepupuku seperti sekarang ini.

Senin, 16 Juli 2012

Gula yang Tidak Manis



         Oleh Armilia Sari


            Pada suatu hari ada seorang nenek yang membeli 1 kilo gram gula pasir di warung. Gula ini bermerek ‘Gula Kejut’. Tidak ada yang tahu mengapa produsennya memberi label produk dengan nama yang aneh seperti itu. Banyak yang berpikir mungkin gula itu diberi nama ‘Gula Kejut’ karena rasanya yang  dapat mengejutkan orang saat mencicipinya. Gula itu tampak begitu menarik dan menggiurkan. Tetapi dibalik penampilannya yang terlihat manis, rupanya tersembunyi sifat yang sangat tidak manis dan tidak terpuji.
            Sejak awal, Si Gula Kejut sudah mempunyai niat yang buruk terhadap nenek. Ia berencana untuk menyakiti nenek. Ia akan malakukan segala cara untuk membinasakan siapa pun yang mengkonsumsinya.
            Saat nenek mencampurkan gula ke dalam teh, Si Gula Kejut sengaja menghilangkan rasa manisnya. Tentu saja nenek terkejut saat mencicipi tehnya yang belum manis padahal ia sudah memasukkan tiga sendok gula.
            “Aneh, kok belum manis ya?” tanya nenek keheranan.
            “Hahaha...ayo nek, tambah lagi,” seru si Gula Kejut.
 Nenek terpaksa menambahkan satu sendok lagi, tetapi rasanya masih hambar alias tawar. Hingga sembilan sendok gula pun teh itu masih terasa pahit akibat ulah Si Gula Kejut yang menetralkan rasa aslinya. Dengan bisikan-bisikan gaibnya, Si Gula Kejut mencoba merayu nenek untuk terus menambahkan gula lebih banyak lagi ke dalam minumannya. Nenek yang mulai kesal akhirnya mencampurkan Si Gula Kejut enam sendok lagi. Baru setelah itu Si Gula Kejut memunculkan rasa yang seharusnya menjadi ciri khasnya.
            Akibat pengalaman pertamanya itu nenek selalu meminum teh dengan 15 sendok gula setiap hari. Akibatnya kandungan gula dalam darah nenek semakin meningkat. Tidak hanya itu, Si Gula Kejut juga merayu semut hitam dan semut merah di dapur nenek untuk mengerubutinya. Si Gula Kejut lalu menggemburkan dirinya seperti tanah yang longsor. Semut-semut yang kakinya kotor dan mengandung kuman penyakit itu akhirnya mati terperangkap dan tertimbun gula.
            Beberapa bulan kemudian nenek terkena penyakit kencing manis. Dokter menyarankan nenek berhenti mengkonsumsi gula. Selain itu dokter juga berpesan agar nenek berhati-hati dan jangan sampai terluka karena akan sulit sekali sembuhnya. Si Gula Kejut sengaja menampakkan penampilannya yang menarik dan menggiurkan di dapur sehingga nenek kembali mengulangi kebiasaanya.
Pada suatu hari ketika nenek membuat minuman, salah satu semut merah di dapur menggigit kaki nenek. Akibatnya di kaki nenek muncul benjolan berisi cairan yang terasa gatal. Karena tidak tahan nenek menggaruknya dengan kuat sampai terkelupas. Nenek akhirnya terluka. Penyakit kencing manis yang dideritanya mengakibatkan nenek lumpuh karena luka itu tidak dapat disembuhkan. Semakin hari luka itu semakin melebar. Kaki nenek akhirnya diamputasi karena sudah membusuk. Lama kelamaan nyawa nenek tidak tertolong lagi. Ia meninggal akibat ulah Si Gula kejut yang tidak manis.
 Si Gula Kejut tertawa terbahak-bahak melihat kematian si nenek. Ia puas karena berhasil membunuh nenek. Si Gula Kejut bersumpah akan menelan korban lebih banyak lagi. Ia berharap saat pemakaman nenek, keluarganya akan menjamu para pelayat dengan dirinya, Si Gula Kejut.
“Aduh, gula ini kok banyak sekali semutnya?” tanya Shinta cucu nenek yang pertama.
“Dibuang saja mbak,” seru Wulan adiknya.
Begitulah, dugaan si Gula Kejut ternyata meleset,  keluarga nenek malah membuang Si Gula Kejut ke tanah karena banyak semut di dalamnya. Si Gula Kejut akhirnya lenyap ditelan bumi untuk selama-lamanya.
*****