Selasa, 24 Juli 2012

Pencuri Makanan di Sekolahku


 Oleh Armilia Sari

 
Pengalaman ini kualami di bangku sekolah dasar kelas IV. Kebiasaanku sejak kecil adalah aku selalu dibekali bontot dari rumah seperti pempek, risol,  atau pisang goreng. Sebenarnya aku lebih suka jajan daripada membawa bontot karena menurutku gorengan buatan emak keras dan tidak enak, tetapi emakku memaksa aku membawanya. Akhirnya kubawa juga bontot itu setiap hari meski terkadang tidak kumakan.  Ada pengalaman aneh dan lucu mengenai bekal yang selalu kubawa itu. Entah bagaimana caranya bontot itu selalu lenyap tak tersisa sebelum aku sempat menyantapnya atau bahkan membuangnya. Sering  aku lupa membuangnya ke kotak sampah seperti biasanya, tetapi saat emakku memeriksa kotak makananku ternyata isinya sudah kosong.
             Aku memang selalu meninggalkan kelas untuk jajan di kantin, jadi aku tidak tahu siapa yang diam-diam selalu mengambil bontotku saat jam istirahat. Jangan-jangan pelakunya adalah si Hantu Markonah? Menurut cerita kakak kelasku, dahulu di kelasku ada siswi yang meninggal karena kecelakaan saat praktek olah raga lompat tinggi. Badannya yang gempal membuat Markonah hilang keseimbangan dan terhempas dengan kuatnya. Konon, semasa hidupnya si Markonah ini sangat rakus makannya. Ah setahuku hantu atau makhluk halus lainnya itu doyan darah manusia, sejak kapan hantu suka makan gorengan dan muncul di siang bolong? Aku semakin penasaran dengan maling di kelasku, maka aku pun menyiapkan sebuah rencana untuk menjebaknya. Siang itu aku meminta emakku membuatkan pempek pistel. Kukatakan padanya aku ingin membantunya dan membawa bekal buatanku sendiri besok. Diam-diam kuselipkan dua buah cabai rawit dan sebutir pil pelancar buang air besar dalam setiap pistelnya. Sengaja kubuat ukuran pempek pistelku lebih besar daripada punya emakku agar aku bisa memilihnya nanti saat digoreng semuanya.
Keesokan harinya aku berangkat sekolah seperti biasa, tidak ada firasat kalau hari itu akan menjadi hari paling sial dalam hidupku. Pada hari itu saat jam istirahat aku tidak jajan di kantin karena teman-temanku mengajak bermain petak umpet. Sialnya hari itu aku kalah jangkepong, jadi aku yang kena hukuman mencari teman-temanku. Aku diminta menutup mata, berbalik membelakangi kelas, dan menelungkupkan badan pada sebuah pohon nangka. Saat aku mulai berhitung, secara tidak sengaja aku menginjak sarang semut api sehingga mereka pun mengigitiku beramai-ramai tanpa ampun. Mau tidak mau aku pun harus membuka mataku, dan betapa terkejutnya aku melihat seragam putihku terkena getah dari pohon nangka tempat aku menelungkup. Mungkin inilah yang dimaksud Bu Welly, guru Bahasa Indonesia kami dengan pepatah ‘Orang makan nangkanya, aku dapat getahnya’. Ya, kemarin memang pohon nangka ini berbuah, dan aku tidak kebagian saat teman-temanku berebut menikmati buahnya. Bah, benar-benar hari yang sial. Entah apa lagi yang akan kualami nanti pikirku saat itu. Aku mulai mencari teman-temanku sebelum hitungan ke seratus selesai. Untuk apa juga menghitung sampai seratus? Toh mereka tidak tahu.
Tidak terasa sudah setengah jam kami bermain petak umpet. Teman-temanku hampir semuanya kutemukan. Ada yang sembunyi di kantin sambil makan, gila sembunyi kok di kantin, ada yang memanjat pohon jambu dan hampir terpeleset karena dihajar serangga seperti nasibku, ada pula yang menyerah tidak tahan dan keluar sendiri karena salah memilih tempat persembunyian, bagaimana tidak tahan kalau sembunyi di toilet siswa yang bau pesing karena jarang dibersihkan itu. Jam istirahat pun berakhir, kami semua masuk ke kelas dengan tertib. Siang itu jam pelajaran Bahasa Inggris, pelajaran yang sangat tidak kumengerti pada masa itu karena terdengar seperti ‘swat swet swot’ saja saat Miss Novi berbicara.
“Nah, anak-anak ikuti yang Miss Novi ucapkan ya!”
“Ya Miss,” jawab kami sekelas.
Okay, together: ‘uniform’.” Miss Novi memulai.
Okay , together: ‘uniform’,” kami semua mengikuti.
“Waduh, kata ‘Okay together’-nya tidak usah diikuti nak,” keluh Miss Novi.
“Waduh, kata ‘Okay together’-nya tidak usah diikuti nak,” ucap kami serentak menirukan kalimatnya sama persis. Miss Novi garuk-garuk kepala seperti kegatalan digerogoti kutu.
“Ya sudahlah, cukup latihan membacanya. Sekarang coba keluarkan PR kalian kemarin.”
“Alamak. Aku lupa bawa PR, ini gara-gara keasyikan membuat pempek pistel kemarin.”
Any problem, Tyo?” pertanyaan Miss Novi mengagetkanku.
Eh... No what-what Miss,” jawabku asal-asalan.
Aku membuka tasku, berharap terjadi keajaiban siapa tahu si hantu Markonah itu berbaik hati mau membuatkan PR-ku setelah melahap bontotku. Sesuai dengan yang kurencanakan kotak bekalku sudah kosong melompong, pasti sudah disikat si hantu Markonah, tapi oh tidak, PR-ku tetap tidak ada. Huh dasar hantu tidak tahu berterima kasih! Eh, hantu memang tidak pernah berterima kasih ding. Aduh bagaimana ini? Akhinya aku hanya bisa mengakui kesalahanku sambil memasang wajah penuh memelas.
“Ya sudah, you bersihkan kelas ini sepulang sekolah nanti, understand?
Understand miss,” jawabku pasrah tapi tak rela.
“Nah sekarang siapa yang bisa mengerjakan soal PR kemarin number one?” Miss Novi menawarkan, tetapi tak satu pun yang mengangkat tangan.
“Kalau tidak ada yang angkat tangan, Miss Novi akan panggil dari absen,” ancam Miss Novi. Seketika raut wajah kami semua menegang.
“Lanjar Widodo, stand up!” Miss Novi mulai mengabsen siswa supaya maju ke depan mengerjakan PR kemarin di papan tulis.
“Lanjar Widodo, come on!” Miss Novi mengulangi panggilannya, tetapi yang dipanggil tidak juga maju. Aku menoleh ke belakang, bangku si Dodo yang gembul itu kosong. Benar juga, tadi si gembrot tukang makan itu ikut kami bermain petak umpet, tapi sampai jam istirahat berakhir pun aku tidak menemukannya. Apa Dodo masih bersembunyi ya? Atau mungkin dia pulang sebentar untuk makan karena rumahnya yang sangat dekat persis terletak di samping sekolah.
“Lanjar Widodo, tidak hadir ya?” tanya Miss Novi.
“Tadi pagi hadir miss, tapi sampai sekarang belum kelihatan batangnya,” jawab Boris diikuti gemuruh gelak tawa kami semua.
“Atau mungkin diculik si hantu Markonah kali miss,” teman yang lain menimpali.
“Diam semuanya! Boris, coba kamu saja yang kerjakan.”
Boris maju sambil cengar-cengir. Selanjutnya dengan setengah hidup, setengah mati, bahkan agak memaksa Miss Novi akhirnya berhasil menyeret 10 siswa ke depan mengerjakan sepuluh buah soal PR yang diberikannya kemarian.
“Toeeeeeetttt.... Toeeeeeetttt.... Toeeeeeetttt.... Toeeeeeetttt....” terdengar bunyi seperti terompet empat kali pertanda jam pelajaran telah usai. Entah mengapa sekolahku tidak menggunakan bel atau lonceng seperti di sekolah-sekolah lain pada umumnya, tetapi malah menggunakan bunyi terompet seperti mau perang saja. Huh, hari yang menyebalkan. Aku ditinggal sendirian di kelas dan disuruh membersihkan kelas sebagai hukuman.
Aku menyapu secepat-cepatnya. Mengepel pun asal terlihat lantainya basah saja sudah cukup bagiku karena lantainya dari marmer berwarna cokelat jadi tidak akan terlalu kelihatan kalau pun kotor. Perutku sudah keroncongan, tadi tidak sempat jajan karena main, sedangkan bontotku sudah lenyap digondol maling, walaupun tidak diambil maling, toh aku juga tidak mau makan pempek pistel yang sudah kucampur cabe rawit dan obat pelancar buang air di dalamnya, dan seandainya pun belum kucampur dengan ‘racun tulen’ itu, aku juga tidak mau makan gorengan emak yang keras dan tidak enak itu. Aku segera merapikan isi tasku dan bersiap pulang.
“Preeettt...” tiba-tiba terdengar suara seperti kentut. Kulihat di sekelilingku, kelas sudah kosong, hanya ada aku di sini, jadi tadi suara apaan dong? Waduh, jangan-jangan si hantu Markonah mulai usil menggangguku.
“Han... Hantuuuuu,” teriakku ketakutan sambil berlari dan bersiap mengunci kelas agar hantunya terkurung. Semoga saja hantunya tidak bisa menembus dinding seperti di film-film itu. Keringatku yang bau asam pun bercucuran dengan derasnya di sekitar leher dan ketiak.
“Ah hantu ampun, jangan kunci aku dari luar.”
“Hah? Siapa di dalam?”
“Ini aku Dodo, cepat bukain dong, nggak tahan lagi nih, perutku mulas kentut terus, dari tadi nahan pengen buang air besar.”
            “Ya ampun Dodo, kamu ke mana saja dari tadi?” tanyaku sambil membukakan pintu. Kupandangi wajahnya yang memerah karena menahan kentut.
            “Uffh... kok bau pesing sih? Kamu terkencing ya?”
            “Sorry, Tyo. Tadi aku sembunyi dalam lemari kelas. Tadinya cuma nahan buang air besar, tapi nggak tahunya yang kecil juga mau keluar. Habis kamu sih pakai teriak hantu segala. Kan aku terkencing-kencing ketakutan jadinya,”
            “Ya ampun, jadi bunyi aneh tadi bunyi kentut kamu. Kamu kencingnya di lemari atau di lantai, heh?”
            “Di lantai, memangnya kenapa?”
            “Dodooooooooooooooo.... dasar si dodol, dodol, dodol!!! Aku capek bersihin lantainya tahu nggak?”
            “Sorry deh, ini saja masih untung aku nggak buang air besar di kelas.”
            “Untang-untung... untang-untung... Untung udelmu itu! Orang sial kok untung?”
            “Oke, begini deh. Aku bersihin kelasnya, kamu temani aku saja, aku takut soalnya, tapi sebelumnya aku ke toilet dulu ya,” jawabnya sambil berlari-lari diiringi suara ‘Breeet brooot’ dari pantatnya.
            Huh, mimpi apa aku semalam sampai terkena sial terus seharian ini? Perasaan semalam aku cuma mimpi di lempari monyet pakai pisang. Ah, apa hubungannya mimpi itu dengan nasib sialku hari ini? Lagi pula, dunia mimpi itu benar-benar aneh, mana ada monyet yang mau membuang-buang pisang dengan percuma? Di dunia nyata, yang ada monyet-monyet itu malah kesenangan kalau dilempari pisang. Apa dunia sudah mau terbalik ya? Aku mulai berpikir yang aneh-aneh karena kelewat lapar. Irama keroncongan mulai berbunyi dari perutku. Cacing-cacing di dalamnya pasti sedang demo besar-besaran meminta jatah makan dua piring lebih banyak dari porsi biasanya karena sudah lewat jam makan siang.
            Menunggu Dodo buang air dan mengepel lantai selama lima belas menit saja terasa seperti menunggu puluhan tahun lamanya. Swear, tidak lebay! Menunggu orang lain mengerjakan sesuatu saat perut kelaparan adalah penderitaan yang sangat pedih dan semoga saja tidak dialami oleh siapa pun lagi di dunia ini. Cukuplah daku saja yang merasakan sakitnya tersiksa seperti ini (nah, kalau kalimat yang ini baru lebay).
            Dodo menawariku makan di rumahnya. Aku pikir tidak ada salahnya juga sekali-sekali aku numpang makan di rumahnya karena rumahku masih jauh. Sesampainya di rumah, kedua orang tua Dodo tidak kelihatan, mungkin mereka sedang bertani. Dodo langsung membuka tudung saji di atas meja makan mereka.
            “Ha, asyik... sambal belacan. Ayo makan!” serunya kegirangan.
            “Hah?” Aku terbelalak, setengah tidak percaya dengan apa yang baru saja kulihat. Di atas meja hanya terhidang sebakul besar nasi yang masih hangat, sepiring ikan asin, dan semangkuk penuh sambal belacan.
            “Kenapa? Kamu tidak suka ya? Kalau kamu tidak suka biar kubelikan mi instant di warung.”
            “Eh... Eh, tidak usah. Aku suka kok ikan asin dan sambal belacan,” jawabku sekenanya. Aku tidak tega kalau harus menyuruhnya berbelanja dulu di warung. Lagi pula kami sudah terlalu lapar. Kami pun makan dengan lahapnya. Benar kata emakku dulu, ‘makanan apapun, walau tidak enak, akan terasa enak saat perut benar-benar lapar.’ Karena kulihat Dodo nambah lagi 1 piring maka aku pun tidak perlu malu untuk nambah lagi.
            “Nggak usah malu,” katanya.
            “Hyang hada mhalah mhalu-mhaluin, hehe...” jawabku dengan susah payah sambil menyuap sesendok penuh. Agak sulit memang berbicara sambil makan nasi yang masih panas. Aku kagum pada Dodo. Kini kutahu badannya Dodo yang gendut itu bukan karena selama ini dia sering makan makanan enak, melainkan karena dia memang menikmati makanan apa pun yang disajikan emaknya walaupun sederhana. Dodo memang hanyalah seorang anak petani biasa, tetapi dia selalu bersyukur dengan keadaan keluarganya. Aku jadi teringat emakku yang sudah bersusah payah setiap hari membuatkan bekal untukku tetapi selalu kubuang dengan percuma. Aku menyesal telah menyia-nyiakan rezeki dari Tuhan.
            “Oh ya, tadi kamu campur apa sih dalam pempek pistelmu? Biasanya enak, tapi tadi pedas campur pahit. Pempek apaan tuh? Pempek terburuk di dunia.”
            “Hah? Biasanya katamu? Jadi kamu ya yang selama ini sering mencuri bontotku? Bukan si hantu Markonah?”
            “Hiihii.. Sorry, habisnya kamu tuh buang-buang rezeki, mubazir loh,” katanya sambil cepat-cepat berlalu dariku dan berpura-pura mencuci piring ke sumur belakang. Aku geram sekali rasanya. Tiba-tiba kekagumanku tadi dalam sekejap berubah menjadi rasa sebal yang bertumpuk-tumpuk. Ingin sekali kusiram dia dengan segelas air putih dalam genggamanku.
            “Dodooooooooooooooo.... dasar si dodol, dodol, dodol!!!
*****


0 Komentar:

Posting Komentar

Please be polite in giving a comment, every rude comment will be removed (Sopanlah dalam berkomentar, setiap komentar yang kasar akan dihapus)

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda