Oleh Armilia Sari
Pengalaman
ini kualami di bangku sekolah dasar kelas IV. Kebiasaanku sejak kecil adalah
aku selalu dibekali bontot dari rumah seperti pempek, risol, atau pisang goreng. Sebenarnya aku lebih suka
jajan daripada membawa bontot karena menurutku gorengan buatan emak keras dan
tidak enak, tetapi emakku memaksa aku membawanya. Akhirnya kubawa juga bontot
itu setiap hari meski terkadang tidak kumakan. Ada pengalaman aneh dan lucu mengenai bekal
yang selalu kubawa itu. Entah bagaimana caranya bontot itu selalu lenyap tak tersisa
sebelum aku sempat menyantapnya atau bahkan membuangnya. Sering aku lupa membuangnya ke kotak sampah seperti
biasanya, tetapi saat emakku memeriksa kotak makananku ternyata isinya sudah
kosong.
Aku memang selalu meninggalkan kelas untuk
jajan di kantin, jadi aku tidak tahu siapa yang diam-diam selalu mengambil
bontotku saat jam istirahat. Jangan-jangan pelakunya adalah si Hantu Markonah?
Menurut cerita kakak kelasku, dahulu di kelasku ada siswi yang meninggal karena
kecelakaan saat praktek olah raga lompat tinggi. Badannya yang gempal membuat Markonah
hilang keseimbangan dan terhempas dengan kuatnya. Konon, semasa hidupnya si Markonah
ini sangat rakus makannya. Ah setahuku hantu atau makhluk halus lainnya itu
doyan darah manusia, sejak kapan hantu suka makan gorengan dan muncul di siang
bolong? Aku semakin penasaran dengan maling di kelasku, maka aku pun menyiapkan
sebuah rencana untuk menjebaknya. Siang itu aku meminta emakku membuatkan pempek
pistel. Kukatakan padanya aku ingin membantunya dan membawa bekal buatanku
sendiri besok. Diam-diam kuselipkan dua buah cabai rawit dan sebutir pil pelancar
buang air besar dalam setiap pistelnya. Sengaja kubuat ukuran pempek pistelku
lebih besar daripada punya emakku agar aku bisa memilihnya nanti saat digoreng
semuanya.
Keesokan
harinya aku berangkat sekolah seperti biasa, tidak ada firasat kalau hari itu
akan menjadi hari paling sial dalam hidupku. Pada hari itu saat jam istirahat
aku tidak jajan di kantin karena teman-temanku mengajak bermain petak umpet.
Sialnya hari itu aku kalah jangkepong, jadi aku yang kena hukuman mencari
teman-temanku. Aku diminta menutup mata, berbalik membelakangi kelas, dan
menelungkupkan badan pada sebuah pohon nangka. Saat aku mulai berhitung, secara
tidak sengaja aku menginjak sarang semut api sehingga mereka pun mengigitiku
beramai-ramai tanpa ampun. Mau tidak mau aku pun harus membuka mataku, dan
betapa terkejutnya aku melihat seragam putihku terkena getah dari pohon nangka
tempat aku menelungkup. Mungkin inilah yang dimaksud Bu Welly, guru Bahasa
Indonesia kami dengan pepatah ‘Orang makan nangkanya, aku dapat getahnya’. Ya,
kemarin memang pohon nangka ini berbuah, dan aku tidak kebagian saat
teman-temanku berebut menikmati buahnya. Bah, benar-benar hari yang sial. Entah
apa lagi yang akan kualami nanti pikirku saat itu. Aku mulai mencari
teman-temanku sebelum hitungan ke seratus selesai. Untuk apa juga menghitung
sampai seratus? Toh mereka tidak tahu.
Tidak
terasa sudah setengah jam kami bermain petak umpet. Teman-temanku hampir
semuanya kutemukan. Ada yang sembunyi di kantin sambil makan, gila sembunyi kok
di kantin, ada yang memanjat pohon jambu dan hampir terpeleset karena dihajar
serangga seperti nasibku, ada pula yang menyerah tidak tahan dan keluar sendiri
karena salah memilih tempat persembunyian, bagaimana tidak tahan kalau sembunyi
di toilet siswa yang bau pesing karena jarang dibersihkan itu. Jam istirahat
pun berakhir, kami semua masuk ke kelas dengan tertib. Siang itu jam pelajaran
Bahasa Inggris, pelajaran yang sangat tidak kumengerti pada masa itu karena
terdengar seperti ‘swat swet swot’ saja
saat Miss Novi berbicara.
“Nah,
anak-anak ikuti yang Miss Novi
ucapkan ya!”
“Ya
Miss,” jawab kami sekelas.
“Okay, together: ‘uniform’.” Miss Novi memulai.
“Okay , together: ‘uniform’,” kami semua
mengikuti.
“Waduh,
kata ‘Okay together’-nya tidak usah
diikuti nak,” keluh Miss Novi.
“Waduh,
kata ‘Okay together’-nya tidak usah
diikuti nak,” ucap kami serentak menirukan kalimatnya sama persis. Miss Novi garuk-garuk kepala seperti kegatalan digerogoti kutu.
“Ya
sudahlah, cukup latihan membacanya. Sekarang coba keluarkan PR kalian kemarin.”
“Alamak.
Aku lupa bawa PR, ini gara-gara keasyikan membuat pempek pistel kemarin.”
“Any problem, Tyo?” pertanyaan Miss Novi mengagetkanku.
“Eh... No what-what Miss,” jawabku
asal-asalan.
Aku
membuka tasku, berharap terjadi keajaiban siapa tahu si hantu Markonah itu
berbaik hati mau membuatkan PR-ku setelah melahap bontotku. Sesuai dengan yang
kurencanakan kotak bekalku sudah kosong melompong, pasti sudah disikat si hantu
Markonah, tapi oh tidak, PR-ku tetap tidak ada. Huh dasar hantu tidak tahu
berterima kasih! Eh, hantu memang tidak pernah berterima kasih ding. Aduh
bagaimana ini? Akhinya aku hanya bisa mengakui kesalahanku sambil memasang
wajah penuh memelas.
“Ya
sudah, you bersihkan kelas ini
sepulang sekolah nanti, understand?
“Understand miss,” jawabku pasrah tapi
tak rela.
“Nah
sekarang siapa yang bisa mengerjakan soal PR kemarin number one?” Miss Novi
menawarkan, tetapi tak satu pun yang mengangkat tangan.
“Kalau
tidak ada yang angkat tangan, Miss Novi
akan panggil dari absen,” ancam Miss Novi.
Seketika raut wajah kami semua menegang.
“Lanjar
Widodo, stand up!” Miss Novi mulai mengabsen siswa supaya
maju ke depan mengerjakan PR kemarin di papan tulis.
“Lanjar
Widodo, come on!” Miss Novi mengulangi panggilannya,
tetapi yang dipanggil tidak juga maju. Aku menoleh ke belakang, bangku si Dodo
yang gembul itu kosong. Benar juga, tadi si gembrot tukang makan itu ikut kami
bermain petak umpet, tapi sampai jam istirahat berakhir pun aku tidak menemukannya.
Apa Dodo masih bersembunyi ya? Atau mungkin dia pulang sebentar untuk makan
karena rumahnya yang sangat dekat persis terletak di samping sekolah.
“Lanjar
Widodo, tidak hadir ya?” tanya Miss
Novi.
“Tadi
pagi hadir miss, tapi sampai sekarang
belum kelihatan batangnya,” jawab Boris diikuti gemuruh gelak tawa kami semua.
“Atau
mungkin diculik si hantu Markonah kali miss,”
teman yang lain menimpali.
“Diam
semuanya! Boris, coba kamu saja yang kerjakan.”
Boris
maju sambil cengar-cengir. Selanjutnya dengan setengah hidup, setengah mati,
bahkan agak memaksa Miss Novi akhirnya
berhasil menyeret 10 siswa ke depan mengerjakan sepuluh buah soal PR yang
diberikannya kemarian.
“Toeeeeeetttt....
Toeeeeeetttt.... Toeeeeeetttt.... Toeeeeeetttt....” terdengar bunyi seperti terompet
empat kali pertanda jam pelajaran telah usai. Entah mengapa sekolahku tidak
menggunakan bel atau lonceng seperti di sekolah-sekolah lain pada umumnya,
tetapi malah menggunakan bunyi terompet seperti mau perang saja. Huh, hari yang
menyebalkan. Aku ditinggal sendirian di kelas dan disuruh membersihkan kelas
sebagai hukuman.
Aku
menyapu secepat-cepatnya. Mengepel pun asal terlihat lantainya basah saja sudah
cukup bagiku karena lantainya dari marmer berwarna cokelat jadi tidak akan
terlalu kelihatan kalau pun kotor. Perutku sudah keroncongan, tadi tidak sempat
jajan karena main, sedangkan bontotku sudah lenyap digondol maling, walaupun
tidak diambil maling, toh aku juga tidak mau makan pempek pistel yang sudah
kucampur cabe rawit dan obat pelancar buang air di dalamnya, dan seandainya pun
belum kucampur dengan ‘racun tulen’ itu, aku juga tidak mau makan gorengan emak
yang keras dan tidak enak itu. Aku segera merapikan isi tasku dan bersiap
pulang.
“Preeettt...”
tiba-tiba terdengar suara seperti kentut. Kulihat di sekelilingku, kelas sudah
kosong, hanya ada aku di sini, jadi tadi suara apaan dong? Waduh, jangan-jangan
si hantu Markonah mulai usil menggangguku.
“Han...
Hantuuuuu,” teriakku ketakutan sambil berlari dan bersiap mengunci kelas agar
hantunya terkurung. Semoga saja hantunya tidak bisa menembus dinding seperti di
film-film itu. Keringatku yang bau asam pun bercucuran dengan derasnya di
sekitar leher dan ketiak.
“Ah
hantu ampun, jangan kunci aku dari luar.”
“Hah?
Siapa di dalam?”
“Ini
aku Dodo, cepat bukain dong, nggak tahan lagi nih, perutku mulas kentut terus,
dari tadi nahan pengen buang air besar.”
“Ya ampun Dodo, kamu ke mana saja
dari tadi?” tanyaku sambil membukakan pintu. Kupandangi wajahnya yang memerah
karena menahan kentut.
“Uffh... kok bau pesing sih? Kamu
terkencing ya?”
“Sorry, Tyo. Tadi aku sembunyi dalam
lemari kelas. Tadinya cuma nahan buang air besar, tapi nggak tahunya yang kecil
juga mau keluar. Habis kamu sih pakai teriak hantu segala. Kan aku
terkencing-kencing ketakutan jadinya,”
“Ya ampun, jadi bunyi aneh tadi
bunyi kentut kamu. Kamu kencingnya di lemari atau di lantai, heh?”
“Di lantai, memangnya kenapa?”
“Dodooooooooooooooo.... dasar si
dodol, dodol, dodol!!! Aku capek bersihin lantainya tahu nggak?”
“Sorry deh, ini saja masih untung
aku nggak buang air besar di kelas.”
“Untang-untung... untang-untung...
Untung udelmu itu! Orang sial kok untung?”
“Oke, begini deh. Aku bersihin
kelasnya, kamu temani aku saja, aku takut soalnya, tapi sebelumnya aku ke
toilet dulu ya,” jawabnya sambil berlari-lari diiringi suara ‘Breeet brooot’
dari pantatnya.
Huh, mimpi apa aku semalam sampai
terkena sial terus seharian ini? Perasaan semalam aku cuma mimpi di lempari
monyet pakai pisang. Ah, apa hubungannya mimpi itu dengan nasib sialku hari
ini? Lagi pula, dunia mimpi itu benar-benar aneh, mana ada monyet yang mau
membuang-buang pisang dengan percuma? Di dunia nyata, yang ada monyet-monyet
itu malah kesenangan kalau dilempari pisang. Apa dunia sudah mau terbalik ya?
Aku mulai berpikir yang aneh-aneh karena kelewat lapar. Irama keroncongan mulai
berbunyi dari perutku. Cacing-cacing di dalamnya pasti sedang demo
besar-besaran meminta jatah makan dua piring lebih banyak dari porsi biasanya
karena sudah lewat jam makan siang.
Menunggu Dodo buang air dan mengepel
lantai selama lima belas menit saja terasa seperti menunggu puluhan tahun
lamanya. Swear, tidak lebay! Menunggu
orang lain mengerjakan sesuatu saat perut kelaparan adalah penderitaan yang
sangat pedih dan semoga saja tidak dialami oleh siapa pun lagi di dunia ini.
Cukuplah daku saja yang merasakan sakitnya tersiksa seperti ini (nah, kalau
kalimat yang ini baru lebay).
Dodo menawariku makan di rumahnya.
Aku pikir tidak ada salahnya juga sekali-sekali aku numpang makan di rumahnya
karena rumahku masih jauh. Sesampainya di rumah, kedua orang tua Dodo tidak
kelihatan, mungkin mereka sedang bertani. Dodo langsung membuka tudung saji di
atas meja makan mereka.
“Ha, asyik... sambal belacan. Ayo
makan!” serunya kegirangan.
“Hah?” Aku terbelalak, setengah
tidak percaya dengan apa yang baru saja kulihat. Di atas meja hanya terhidang
sebakul besar nasi yang masih hangat, sepiring ikan asin, dan semangkuk penuh
sambal belacan.
“Kenapa? Kamu tidak suka ya? Kalau
kamu tidak suka biar kubelikan mi instant
di warung.”
“Eh... Eh, tidak usah. Aku suka kok
ikan asin dan sambal belacan,” jawabku sekenanya. Aku tidak tega kalau harus
menyuruhnya berbelanja dulu di warung. Lagi pula kami sudah terlalu lapar. Kami
pun makan dengan lahapnya. Benar kata emakku dulu, ‘makanan apapun, walau tidak
enak, akan terasa enak saat perut benar-benar lapar.’ Karena kulihat Dodo
nambah lagi 1 piring maka aku pun tidak perlu malu untuk nambah lagi.
“Nggak usah malu,” katanya.
“Hyang hada mhalah mhalu-mhaluin,
hehe...” jawabku dengan susah payah sambil menyuap sesendok penuh. Agak sulit
memang berbicara sambil makan nasi yang masih panas. Aku kagum pada Dodo. Kini
kutahu badannya Dodo yang gendut itu bukan karena selama ini dia sering makan
makanan enak, melainkan karena dia memang menikmati makanan apa pun yang
disajikan emaknya walaupun sederhana. Dodo memang hanyalah seorang anak petani
biasa, tetapi dia selalu bersyukur dengan keadaan keluarganya. Aku jadi
teringat emakku yang sudah bersusah payah setiap hari membuatkan bekal untukku
tetapi selalu kubuang dengan percuma. Aku menyesal telah menyia-nyiakan rezeki
dari Tuhan.
“Oh ya, tadi kamu campur apa sih
dalam pempek pistelmu? Biasanya enak, tapi tadi pedas campur pahit. Pempek
apaan tuh? Pempek terburuk di dunia.”
“Hah? Biasanya katamu? Jadi kamu ya
yang selama ini sering mencuri bontotku? Bukan si hantu Markonah?”
“Hiihii.. Sorry, habisnya kamu tuh buang-buang
rezeki, mubazir loh,” katanya sambil cepat-cepat berlalu dariku dan
berpura-pura mencuci piring ke sumur belakang. Aku geram sekali rasanya.
Tiba-tiba kekagumanku tadi dalam sekejap berubah menjadi rasa sebal yang
bertumpuk-tumpuk. Ingin sekali kusiram dia dengan segelas air putih dalam
genggamanku.
“Dodooooooooooooooo.... dasar si
dodol, dodol, dodol!!!
*****