Sabtu, 07 Juli 2012

Nikmatnya Berbuka Pusa dengan Es Degan


        Oleh Armilia Sari

 Cerpen ini diikutsertakan dalam lomba PPT Ramadhan dan terpilih sebagai salah satu dari 25 naskah terbaik di www.masterfajar.com





            Hari ini adalah hari terakhir kami berpuasa di Bulan Ramadhan tahun ini. Esok hari segenap umat muslim di seluruh dunia akan merayakan Idul Fitri, tetapi aku merasakan ada yang kurang dalam bulan puasa tahun ini. Aku belum mencicipi es degan kesukaanku. Aku memang telah berniat mencari penjual es degan sejak hari pertama berpuasa, aku bahkan rela berburu es degan sampai ke warung-warung yang jauh dari rumahku dengan harapan siapa tahu di antara mereka ada yang menyediakan menu minuman es degan, tetapi hingga puasa hari terakhir aku belum juga berhasil menemukannya.
            Aku sudah memutuskan, siang ini aku akan berkeliling lagi mencari es degan itu meski harus sampai ke ujung dunia. Segera kukayuh sepedaku dengan penuh semangat. Kutelusuri setiap penjual ta’jil yang menjajakan dagangannya di tepi jalan. Ada bermacam-macam makanan dan minuman menggiurkan yang tersaji di sana seperti kolak, es dawet, es buah, pempek, bakso, sate, dan lain sebagainya, tetapi aku tidak tertarik sama sekali. Pikiranku hanya terfokus pada satu minuman, es degan. Meskipun perutku yang mulai lapar berkata lain, aku tetap tidak tergoda. Aku membawa sepedaku menuju ke Pasar Dadakan Ramadan, di sebut ‘Pasar Dadakan’ karena pasar ini terbentuk secara tiba-tiba hanya setiap bulan puasa datang.
            “Aduh....” teriak seorang kakek saat aku melintas di sebuah gang sempit di dekat Pasar. Rupanya ada seorang pemuda yang menyerempetnya dari samping dan langsung kabur saat mengetahuinya.
            “Kurang ajar, main tancap gas saja,” umpatku sambil membantu kakek itu berdiri.
            “Tidak apa-apa cu, bulan puasa kita harus sabar,” jawab kakek itu bijaksana.
            “Tapi kepala kakek berdarah. Mari kek, ikut ke rumahku. Biar kuobati di sana,” tawarku pada kakek.
            “Oh terima kasih cu, kamu baik sekali. Siapa namamu cu?”
            “Namaku Budi kek.”
            “Subhanallah, nama yang baik sebaik budinya.”
            “Ah kakek bisa saja. Mari kek, aku bonceng ke rumah.”
            Aku membawa kakek itu ke rumahku. Di dalam hatiku aku terpaksa mengurungkan niatku berburu es degan hari ini meski aku sangat mengidamkannya. Tidak apa-apa, bagiku menolong orang lain itu jauh lebih penting dari pada memikirkan makanan atau minuman saat puasa karena setiap kebajikan itu akan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah di Bulan Ramadhan.


            Ibuku agak cemas saat melihatku pulang membawa seorang kakek yang berdarah ke rumah. Ibu khawatir karena menyangka akulah yang menabrak si kakek. Setelah kujelaskan dan kukenalkan kakek kepada ayah dan ibuku barulah mereka mengerti. Ibuku segera mengambil kapas, Betadin, dan perban dalam kotak P3K di lemari. Untunglah keluargaku selalu menyimpan obat-obatan dan bersiap siaga jika suatu waktu obat-obatan itu diperlukan.
            Aku membersihkan luka di kepala kakek sambil mengajaknya mengobrol agar kakek tidak canggung atau bahkan tegang. Kulihat kakek ini memang agak pendiam atau bisa juga dikatakan pemalu. Oleh karena itulah, aku mencoba mencairkan suasana dengan mengajaknya bercerita.
            “Sudah masuk waktu Dzuhur kek. Kita sholat jamaah di sini ya,” ajakku padanya.
            “Baiklah kalau begitu cu, tapi nanti kakek minta tolong diantar pulang ya soalnya nanti keluarga kakek bingung mencari kakek.”
            “Okelah kalau begitu kek. Sebenarnya Budi mau ngajak kakek berbuka di sini.”
            “Bagaimana kalau Budi sekeluarga saja yang berbuka di rumah kakek?” kakek menawarkan pada kami. Aku, ayah, dan ibuku saling berpandangan.
            “Ya sudah, nanti saya antar dengan mobil kami. Sekarang kita sholat dulu, bapak yang jadi imamnya ya?” ayahku meminta pada kakek. Kakek pun mengangguk tanda setuju. Setelah sholat Dzuhur kami pun berangkat menuju rumah kakek dengan petunjuk darinya.
            “Di Jalan Letnan Mukmin No. 1401,” jawab kakek saat ayahku bertanya di mana alamatnya.
            “Oh aku tahu daerah situ yah. Kita lewat Pasar Beduk saja sambil berburu ta’jil, siapa tahu ada es degan di sana,” bujukku bersemangat. Kakek menatapku dan tertegun sejenak. Sepertinya kakek hendak mengatakan sesuatu tetapi ditahan olehnya dalam hati.
            “Ada apa kek?” aku bertanya heran.
            “Eh, tidak ada apa-apa kok,” jawab kakek tersenyum.
            Saat melewati Pasar Beduk, mataku tidak luput dari para penjual es buah dan minuman penyegar lainnya. Ada kolak, es teler, jus melon, dan lain sebagainya, tetapi tidak ada es degan. Aku hampir saja berputus asa karenanya. Saat melintasi ujung Pasar Beduk mataku tertuju pada seorang penjual yang sedang mengemasi barang-barangnya.
“Ayah, itu penjual es degan!” aku berseru. Ayah segera mengerem mobil kami dan mundur sedikit mendekati penjual es degan yang sudah terlewat agak jauh tadi.
“Es degannya Mang,” ayah memesan.
“Wah maaf pak, es degannya sudah habis. Tadi barusan diborong oleh ibu yang pakai baju merah itu tuh,” katanya sambil menunjuk orang yang dimaksud.
“Kejar ibu itu yah,” pintaku tidak bersabar.
“Hus, kamu ini apa-apan sih. Tidak boleh meminta hak orang lain nak,” nasihat ibuku.
“Lagi pula kamu kan bisa minum es degan kapan saja, tidak harus di bulan puasa. Tidak baik menuruti hawa nafsu,” ayahku mengingatkan.
“Sabar ya cu, nanti juga kesampaian kok hasratmu itu,” hibur kakek.
Yah, gagal lagi deh rencanaku. Oh malang benar nasibku, keinginanku menikmati es degan di bulan puasa tahun ini tidak tercapai. Tetapi benar juga apa kata ayahku dan kakek tadi, suatu saat aku pasti bisa memenuhi hasratku mencicipi es degan kesukaanku meski tidak sedang berpuasa. Aku tersenyum kembali dan tidak mengeluh lagi. Aku sudah mengikhlaskannya pikirku dalam hati.
“Berhenti di sini nak,” pinta kakek pada ayahku. Wow, rumah kakek besar sekali. Tidak kusangka di balik penampilan pakaiannya yang sederhana ternyata kakek adalah orang yang kaya raya. Aku kagum melihat halaman rumahnya yang lapang. Di belakang rumahnya juga terdapat kebun  yang luas.
“Ya Allah, kakek dari mana? Kepala kakek kenapa diperban? Loh kok ada Budi, om, dan tante juga?” Tanya seseorang yang menyambut kami di depan pintu. Masya Allah, aku tidak pernah tahu sebelumnya kalau ini adalah rumah keluarga Annisa, temanku dulu saat di sekolah dasar. Aku menceritakan kejadian tadi siang padanya. Keluarga Annisa pun berterima kasih pada kami.
“Mang Ujang mana Nis?”
“Ada di belakang. Kenapa kek?”
“Suruh manjat kelapa muda kita di kebun belakang. Suruh petik yang banyak ya buat buka puasa nanti.”
“Kelapa muda? Ma... Maksudnya degan kek?” Aku bertanya penuh harap.
“Iya anak muda. Kamu suka kan? Kalau kamu mau, kamu juga boleh memanjat sendiri kok. Kamu bisa memanjat cu?” Kakek balik bertanya.
“Oh bisa dong kek,’ jawabku dengan mata berbinar.
“Ambillah sesuka hatimu sebagai hadiah dari kakek. Kamu pantas mendapatkan imbalan atas pertolonganmu tadi dan juga sebagai buah kesabaranmu.”
Dengan hati yang riang aku pun pergi ke kebun di belakang rumah kakek. Aku dan Mang Ujang memetik buah degan yang banyak sementara ibuku dan Annisa menyiapkan es batu di dapur sambil bercengkrama. Oh senangnya bukan main, benar kata kakek tadi bahwa nanti juga hasratku ingin minum es degan akan kesampaian. Rupanya itulah maksud yang dari tadi belum diberitahukannya. Sepertinya kakek sengaja ingin menguji kesabaranku menahan haus dan lapar. Aku jadi tersenyum sendiri teringat tadi ngotot ingin mengejar seorang ibu yang sudah duluan membeli es degan. Setelah puas memetik degan, kami sholat Asar berjamaah lalu kembali bercerita di ruang tamu sambil menunggu waktu berbuka.
Alhamdulillah, akhirnya waktu adzan Maghrib yang dinantikan tiba juga. Aku menikmati es degan hasil jerih payahku memanjat tadi siang dengan lahap. Minum es degan saat sedang haus dan penat begini memang paling enak dibandingkan dengan hari-hari biasa. Air kelapanya yang manis menyegarkan, daging buahnya yang lembut, ditambah es yang dingin menyejukkan langsung menjadi obat yang mujarab untuk menghilangkan dahaga.
Setelah sholat Maghrib dan Isya berjamaah di rumah keluarga Annisa kami pamit pulang. Tidak lupa pula kami berjanji akan saling mengunjungi besok saat lebaran. Kami pulang membawa oleh-oleh 10 buah kelapa muda. Ada yang sudah dikupas dan tinggal disantap dalam wadah makanan dari plastik, ada juga yang masih belum dikupas untuk dinikmati di rumah besok. Adikku di rumah juga pasti senang dibawakan oleh-oleh es degan kesukaan kami. Maghrib tadi paling-paling adikku cuma berbuka puasa di rumah dengan es sirup dan soto buatan Bik Yuyun. Aku menikmati es degan dalam wadah yang kupegang sambil melihat parade lantunan nasyid, semarak kembang api dan gegap gempita takbir menyambut euforia kemenangan umat muslim memerangi hawa nafsunya. Ah, nikmatnya berbuka puasa dengan es degan.

1 Komentar:

Pada 8 Juli 2012 pukul 04.20 , Blogger Armilia Sari mengatakan...

Senangnya...
^_^

 

Posting Komentar

Please be polite in giving a comment, every rude comment will be removed (Sopanlah dalam berkomentar, setiap komentar yang kasar akan dihapus)

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda