Nikmatnya Berbuka Pusa dengan Es Degan
Oleh Armilia Sari
Cerpen ini diikutsertakan dalam lomba PPT Ramadhan dan terpilih sebagai salah satu dari 25 naskah terbaik di www.masterfajar.com
Hari
ini adalah hari terakhir kami berpuasa di Bulan Ramadhan tahun ini. Esok hari
segenap umat muslim di seluruh dunia akan merayakan Idul Fitri, tetapi aku
merasakan ada yang kurang dalam bulan puasa tahun ini. Aku belum mencicipi es degan
kesukaanku. Aku memang telah berniat mencari penjual es degan sejak hari
pertama berpuasa, aku bahkan rela berburu es degan sampai ke warung-warung yang
jauh dari rumahku dengan harapan siapa tahu di antara mereka ada yang menyediakan
menu minuman es degan, tetapi hingga puasa hari terakhir aku belum juga
berhasil menemukannya.
Aku sudah memutuskan, siang ini aku
akan berkeliling lagi mencari es degan itu meski harus sampai ke ujung dunia.
Segera kukayuh sepedaku dengan penuh semangat. Kutelusuri setiap penjual ta’jil yang menjajakan dagangannya di
tepi jalan. Ada bermacam-macam makanan dan minuman menggiurkan yang tersaji di
sana seperti kolak, es dawet, es buah, pempek, bakso, sate, dan lain
sebagainya, tetapi aku tidak tertarik sama sekali. Pikiranku hanya terfokus
pada satu minuman, es degan. Meskipun perutku yang mulai lapar berkata lain,
aku tetap tidak tergoda. Aku membawa sepedaku menuju ke Pasar Dadakan Ramadan,
di sebut ‘Pasar Dadakan’ karena pasar ini terbentuk secara tiba-tiba hanya setiap
bulan puasa datang.
“Aduh....” teriak seorang kakek saat
aku melintas di sebuah gang sempit di dekat Pasar. Rupanya ada seorang pemuda
yang menyerempetnya dari samping dan langsung kabur saat mengetahuinya.
“Kurang ajar, main tancap gas saja,”
umpatku sambil membantu kakek itu berdiri.
“Tidak apa-apa cu, bulan puasa kita
harus sabar,” jawab kakek itu bijaksana.
“Tapi kepala kakek berdarah. Mari
kek, ikut ke rumahku. Biar kuobati di sana,” tawarku pada kakek.
“Oh terima kasih cu, kamu baik
sekali. Siapa namamu cu?”
“Namaku Budi kek.”
“Subhanallah,
nama yang baik sebaik budinya.”
“Ah kakek bisa saja. Mari kek, aku
bonceng ke rumah.”
Aku membawa kakek itu ke rumahku. Di
dalam hatiku aku terpaksa mengurungkan niatku berburu es degan hari ini meski
aku sangat mengidamkannya. Tidak apa-apa, bagiku menolong orang lain itu jauh
lebih penting dari pada memikirkan makanan atau minuman saat puasa karena
setiap kebajikan itu akan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah di Bulan
Ramadhan.
Ibuku agak cemas saat melihatku
pulang membawa seorang kakek yang berdarah ke rumah. Ibu khawatir karena
menyangka akulah yang menabrak si kakek. Setelah kujelaskan dan kukenalkan
kakek kepada ayah dan ibuku barulah mereka mengerti. Ibuku segera mengambil kapas,
Betadin, dan perban dalam kotak P3K
di lemari. Untunglah keluargaku selalu menyimpan obat-obatan dan bersiap siaga
jika suatu waktu obat-obatan itu diperlukan.
Aku membersihkan luka di kepala
kakek sambil mengajaknya mengobrol agar kakek tidak canggung atau bahkan
tegang. Kulihat kakek ini memang agak pendiam atau bisa juga dikatakan pemalu.
Oleh karena itulah, aku mencoba mencairkan suasana dengan mengajaknya
bercerita.
“Sudah masuk waktu Dzuhur kek. Kita
sholat jamaah di sini ya,” ajakku padanya.
“Baiklah kalau begitu cu, tapi nanti
kakek minta tolong diantar pulang ya soalnya nanti keluarga kakek bingung
mencari kakek.”
“Okelah kalau begitu kek. Sebenarnya
Budi mau ngajak kakek berbuka di sini.”
“Bagaimana kalau Budi sekeluarga
saja yang berbuka di rumah kakek?” kakek menawarkan pada kami. Aku, ayah, dan
ibuku saling berpandangan.
“Ya sudah, nanti saya antar dengan
mobil kami. Sekarang kita sholat dulu, bapak yang jadi imamnya ya?” ayahku
meminta pada kakek. Kakek pun mengangguk tanda setuju. Setelah sholat Dzuhur
kami pun berangkat menuju rumah kakek dengan petunjuk darinya.
“Di Jalan Letnan Mukmin No. 1401,”
jawab kakek saat ayahku bertanya di mana alamatnya.
“Oh aku tahu daerah situ yah. Kita
lewat Pasar Beduk saja sambil berburu ta’jil,
siapa tahu ada es degan di sana,” bujukku bersemangat. Kakek menatapku dan
tertegun sejenak. Sepertinya kakek hendak mengatakan sesuatu tetapi ditahan
olehnya dalam hati.
“Ada apa kek?” aku bertanya heran.
“Eh, tidak ada apa-apa kok,” jawab
kakek tersenyum.
Saat melewati Pasar Beduk, mataku
tidak luput dari para penjual es buah dan minuman penyegar lainnya. Ada kolak,
es teler, jus melon, dan lain sebagainya, tetapi tidak ada es degan. Aku hampir
saja berputus asa karenanya. Saat melintasi ujung Pasar Beduk mataku tertuju
pada seorang penjual yang sedang mengemasi barang-barangnya.
“Ayah,
itu penjual es degan!” aku berseru. Ayah segera mengerem mobil kami dan mundur
sedikit mendekati penjual es degan yang sudah terlewat agak jauh tadi.
“Es
degannya Mang,” ayah memesan.
“Wah
maaf pak, es degannya sudah habis. Tadi barusan diborong oleh ibu yang pakai
baju merah itu tuh,” katanya sambil menunjuk orang yang dimaksud.
“Kejar
ibu itu yah,” pintaku tidak bersabar.
“Hus,
kamu ini apa-apan sih. Tidak boleh meminta hak orang lain nak,” nasihat ibuku.
“Lagi
pula kamu kan bisa minum es degan kapan saja, tidak harus di bulan puasa. Tidak
baik menuruti hawa nafsu,” ayahku mengingatkan.
“Sabar
ya cu, nanti juga kesampaian kok hasratmu itu,” hibur kakek.
Yah,
gagal lagi deh rencanaku. Oh malang benar nasibku, keinginanku menikmati es degan
di bulan puasa tahun ini tidak tercapai. Tetapi benar juga apa kata ayahku dan
kakek tadi, suatu saat aku pasti bisa memenuhi hasratku mencicipi es degan
kesukaanku meski tidak sedang berpuasa. Aku tersenyum kembali dan tidak
mengeluh lagi. Aku sudah mengikhlaskannya pikirku dalam hati.
“Berhenti
di sini nak,” pinta kakek pada ayahku. Wow, rumah kakek besar sekali. Tidak
kusangka di balik penampilan pakaiannya yang sederhana ternyata kakek adalah
orang yang kaya raya. Aku kagum melihat halaman rumahnya yang lapang. Di
belakang rumahnya juga terdapat kebun
yang luas.
“Ya
Allah, kakek dari mana? Kepala kakek kenapa diperban? Loh kok ada Budi, om, dan
tante juga?” Tanya seseorang yang menyambut kami di depan pintu. Masya Allah, aku tidak pernah tahu sebelumnya
kalau ini adalah rumah keluarga Annisa, temanku dulu saat di sekolah dasar. Aku
menceritakan kejadian tadi siang padanya. Keluarga Annisa pun berterima kasih
pada kami.
“Mang
Ujang mana Nis?”
“Ada
di belakang. Kenapa kek?”
“Suruh
manjat kelapa muda kita di kebun belakang. Suruh petik yang banyak ya buat buka
puasa nanti.”
“Kelapa
muda? Ma... Maksudnya degan kek?” Aku bertanya penuh harap.
“Iya
anak muda. Kamu suka kan? Kalau kamu mau, kamu juga boleh memanjat sendiri kok.
Kamu bisa memanjat cu?” Kakek balik bertanya.
“Oh
bisa dong kek,’ jawabku dengan mata berbinar.
“Ambillah
sesuka hatimu sebagai hadiah dari kakek. Kamu pantas mendapatkan imbalan atas
pertolonganmu tadi dan juga sebagai buah kesabaranmu.”
Dengan
hati yang riang aku pun pergi ke kebun di belakang rumah kakek. Aku dan Mang Ujang
memetik buah degan yang banyak sementara ibuku dan Annisa menyiapkan es batu di
dapur sambil bercengkrama. Oh senangnya bukan main, benar kata kakek tadi bahwa
nanti juga hasratku ingin minum es degan akan kesampaian. Rupanya itulah maksud
yang dari tadi belum diberitahukannya. Sepertinya kakek sengaja ingin menguji
kesabaranku menahan haus dan lapar. Aku jadi tersenyum sendiri teringat tadi
ngotot ingin mengejar seorang ibu yang sudah duluan membeli es degan. Setelah
puas memetik degan, kami sholat Asar berjamaah lalu kembali bercerita di ruang
tamu sambil menunggu waktu berbuka.
Alhamdulillah, akhirnya waktu adzan Maghrib yang
dinantikan tiba juga. Aku menikmati es degan hasil jerih payahku memanjat tadi
siang dengan lahap. Minum es degan saat sedang haus dan penat begini memang
paling enak dibandingkan dengan hari-hari biasa. Air kelapanya yang manis
menyegarkan, daging buahnya yang lembut, ditambah es yang dingin menyejukkan
langsung menjadi obat yang mujarab untuk menghilangkan dahaga.
Setelah
sholat Maghrib dan Isya berjamaah di rumah keluarga Annisa kami pamit pulang.
Tidak lupa pula kami berjanji akan saling mengunjungi besok saat lebaran. Kami
pulang membawa oleh-oleh 10 buah kelapa muda. Ada yang sudah dikupas dan
tinggal disantap dalam wadah makanan dari plastik, ada juga yang masih belum
dikupas untuk dinikmati di rumah besok. Adikku di rumah juga pasti senang
dibawakan oleh-oleh es degan kesukaan kami. Maghrib tadi paling-paling adikku
cuma berbuka puasa di rumah dengan es sirup dan soto buatan Bik Yuyun. Aku
menikmati es degan dalam wadah yang kupegang sambil melihat parade lantunan nasyid, semarak kembang api dan gegap
gempita takbir menyambut euforia
kemenangan umat muslim memerangi hawa nafsunya. Ah, nikmatnya berbuka puasa dengan
es degan.
1 Komentar:
Senangnya...
^_^
Posting Komentar
Please be polite in giving a comment, every rude comment will be removed (Sopanlah dalam berkomentar, setiap komentar yang kasar akan dihapus)
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda